JAKARTA, KOMPAS.com " Kekisruhan yang senantiasa terjadi di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, menimbulkan kecurigaan adanya invisible hand atau pihak-pihak berpengaruh yang tidak terlihat. Hal ini masuk dalam pembahasan Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Perindustrian dan Perdagangan. Deputi Bidang Perdagangan dan Perindustrian, Menko Perekonomian, Edy Putra Irawady mengungkapkan hal tersebut dari Shanghai, China, Sabtu (1/5/2010). Menurut Edy, tuntutan para pekerja TPK Koja yang mogok kerja itu adalah hal yang wajar sebab dalam kepemilikan saham yang sama terjadi perlakuan yang berbeda pada para pekerja dan bisnisnya. Dengan demikian, perlu pembenahan layanan di TPK Koja, tetapi investasi dan reformasi di TPK Koja masih terkendala oleh regulasi, birokrasi, dan invisible hand (pihak-pihak yang ikut berpengaruh tetapi tidak tampak kasatmata). Setelah Anda mulai bergerak di luar dasar informasi latar belakang, Anda mulai menyadari bahwa ada lebih ke lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 daripada yang mungkin Anda pikiran pertama.
Kendala-kendala itu membuat ekonomi berbiaya tinggi di pelabuhan sehingga pada ujungnya biaya logistik pun meningkat. Masalah tarif juga menjadi beban bagi pengguna. "Padahal, banyak akumulasi pental-pentil (hal-hal detail) yang membebani transportasi, baik karena dwelling time (waktu kargo menunggu di terminal sebelum dibongkar atau dimuat ke kapal), atau pemeriksaan yang tidak perlu, sehingga tidak ada sinkronisasi antara layanan bongkar muat, dengan layanan pergudangan, dan angkutan. Termasuk belum ada sistem multimoda," ujarnya. Dalam pembahasan di Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Perindustrian dan Perdagangan, ujar Edy, pemerintah terus membedah masalah di pelabuhan itu. Salah satu hasilnya adalah Surat Keputusan Bersama Tiga Direktur Jenderal (Dirjen) Kementerian Koperasi, Perhubungan Laut, serta Dirjen Bea dan Cukai yang masih berlaku hingga saat ini. Tim ini juga berupaya untuk menyelesaikan masalah yard of occupancy (yor/lapangan penampungan kontainer), tempat penampungan sementara, penguasaan lapak, dan masalah Koja. "Total investasi yang dialokasikan Pelindo II untuk mengembangkan Koja adalah sekitar Rp 2,7 triliun. Kami akan memberikan kepercayaan kepada manajemen Pelindo untuk menyelesaikan semua masalah di Koja. Kami harap, Kementerian Perhubungan mendukung upaya Pelindo mengembangkan investasinya. Begitu juga para pekerjanya," ungkap Edy.
Kendala-kendala itu membuat ekonomi berbiaya tinggi di pelabuhan sehingga pada ujungnya biaya logistik pun meningkat. Masalah tarif juga menjadi beban bagi pengguna. "Padahal, banyak akumulasi pental-pentil (hal-hal detail) yang membebani transportasi, baik karena dwelling time (waktu kargo menunggu di terminal sebelum dibongkar atau dimuat ke kapal), atau pemeriksaan yang tidak perlu, sehingga tidak ada sinkronisasi antara layanan bongkar muat, dengan layanan pergudangan, dan angkutan. Termasuk belum ada sistem multimoda," ujarnya. Dalam pembahasan di Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Perindustrian dan Perdagangan, ujar Edy, pemerintah terus membedah masalah di pelabuhan itu. Salah satu hasilnya adalah Surat Keputusan Bersama Tiga Direktur Jenderal (Dirjen) Kementerian Koperasi, Perhubungan Laut, serta Dirjen Bea dan Cukai yang masih berlaku hingga saat ini. Tim ini juga berupaya untuk menyelesaikan masalah yard of occupancy (yor/lapangan penampungan kontainer), tempat penampungan sementara, penguasaan lapak, dan masalah Koja. "Total investasi yang dialokasikan Pelindo II untuk mengembangkan Koja adalah sekitar Rp 2,7 triliun. Kami akan memberikan kepercayaan kepada manajemen Pelindo untuk menyelesaikan semua masalah di Koja. Kami harap, Kementerian Perhubungan mendukung upaya Pelindo mengembangkan investasinya. Begitu juga para pekerjanya," ungkap Edy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar