Rabu, 14 April 2010

Tv One, Polisi, dan Markus 'Aspal' « My mind

Apakah Anda pernah merasa seperti Anda tahu hanya cukup tentang lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 menjadi berbahaya? Mari kita lihat apakah kita dapat mengisi sebagian dari celah dengan info terbaru dari lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 ahli.

Tv One,Polisi, dan Markus ˜Aspal

oleh Dandhy D Laksono

œaku matiin HP karena aku dicari pimpinan. Aku nggak berani kekantorpusat di Pulogadung (Kantor TVOne) karena didesak pimpinandisuruh bukaidentitas kamu. Aku menolak, jelas bukan dari saya. Sayanggak kasihtahu apapun soal Abang. (detikcom, 9 April 2010, 16:35WIB).

Dari sekian banyak dimensi dalam kasus ini, bagian inilah yang paling menarik perhatian saya. Itulah isi komunikasi melalui BlackberryantaraAndris Ronaldi dan presenter Tv One, Indy Rahmawati, yang dibukakepadaumum oleh Polri dalam sebuah jumpa pers, 9 April 2010.

Andris Ronaldi adalah narasumber Tv One dalam acara talkshow œApaKabarIndonesia (AKI) yang ditayangkan 24 Maret 2010. Dengan wajahtertutup,Andris yang diwawancarai presenter Indy Rahmawati, dikenalkansebagaisalah seorang makelar kasus (markus) yang aktif di lingkunganMabesPolri. Tak lama kemudian, Mabes Polri mengumumkan bahwanarasumber TvOne itu palsu, sehingga œBang One dan kawan-kawandiadukan ke DewanPers. Setelah acara talkshow itu, polisi memangberusaha mencariidentitas dan keberadaan Andris, hingga akhirnyaditemukan. Kepadapolisi lah, Andris bernyanyi bahwa ia dijebak Tv Oneuntuk mengakusebagai markus demi kepentingan talkshow.

Tentu saja Tv One membantah. Dalam sebuah jumpa pers, jajaran redaksi mengatakan akan menggugat balik bekas narasumbernya itu. Tapi di saat yang sama, redaksi juga meminta maaf yang œsebesar-besarnya bila institusi Polri dan Bapak Kapolri terganggu (detikcom, 9 April 2010, 17:36 WIB).

Bila benar susbtansi pesan tersebut "bahwa Indy diminta pimpinan di redaksi untuk membongkar jatidiri narasumbernya, dan ia tidak sedang membual kepada Andris, maka ini adalah indikasi pelanggaran jurnalistik yang tak kalah serius. Ini harus menjadi bagian penting yang diklarifikasi oleh Dewan Pers saat memanggil awak redaksi Tv One.

Potongan isi SMS tersebut memang masih bisa ditafsirkan dua hal: pertama, pimpinan Tv One meragukan kredibilitas narasumber bawahannya, dan berupaya memverifikasi sendiri; atau kedua, pimpinan Tv One sedang membantu seseorang atau institusi yang berusaha menemukan identitas narasumber yang seharusnya justru mereka lindungi.

Sumber Anonim
Bagian ini juga bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk mengurai polemik dugaan markus palsu di Tv One. Bila pimpinan Tv One pernah mendesak agar Indy membuka indentitas narasumbernya untuk tujuan verifikasi, maka sesungguhnya sistem di redaksi sudah bekerja dengan baik. Mereka sudah mendeteksi masalah kredibilitas Andris sebagai narasumber anonim dalam talkshow tentang markus. Hal ini mestinya disampaikan kepada publik saat para jurnalis Tv One menggelar jumpa pers, 9 April lalu.

Tapi sejauh ini, hal tersebut tidak muncul. Bahkan, seperti diakui General Manager Tv One, Totok Suryanto, Andris sudah berkali-kali menjadi narasumber Tv One seperti di program AKI Pagi (18 Maret 2010), Nama dan Peristiwa, bahkan talkshow Jakarta Lawyers Club yang (biasanya) dipandung langsung Pemimpin Redaksi Karni Ilyas. Dus, kecilkemungkinanpimpinan Tv One œmengejar-ngejar Indy Rahmawati agarmemberikan nomortelepon Andris untuk kepentingan verifikasi.

Sehingga saya beranjak pada dugaan kedua, bahwa isi SMS yang terjadi pada 25 Maret 2010 itu, justru mencerminkan adanya upaya malpraktik jurnalistik yang dilakukan atasan Indy, untuk mengkhianati integritas jurnalisnya sendiri. Pimpinan Tv One patut diduga sedang membantu seseorang atau institusi yang berkepentingan dengan jatidiri si narasumber anonim itu.

Sebelum kasus ini muncul ke permukaan, Andris Ronaldi secarajurnalistikberstatus sumber anonim. Narasumber yang jatidiri dankeberadaannyawajib dilindungi oleh redaksi. Karena kewajiban inilah,maka redaksimemiliki konsekuensi menanggung semua akibat yang timbuldari informasiyang disampaikan oleh sumber tersebut. Bila seorangwartawan setujuuntuk menggunakan sumber anonim, maka tanggung jawabsudah diambil aliholehnya. Termasuk konsekuensi bila ternyata sinarasumber adalah penipu.

Karena konsekuensi yang tak ringan inilah, maka dalam praktik jurnalistik, sumber anonim tak bisa digunakan sembarangan. Ketika Bob Woodword dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon di era 1970-an, mereka juga menggunakan petunjuk-petunjuk yang diberikan seorang sumber anonim dengan nama œDeep Throat. Tapi tak setiap keterangan Deep Throat ditelan mentah-mentah. Editor The Washington Post, Ben Bradlee, saat itu menerapkan kriteria yang harus dipatuhi Woodword dan Bernstein. Agar keterangan Deep Throat layak muat, maka harus didukung oleh œdeep throat lain yang taksalingterkait.

Woodward dan Bernstein memilih bungkam selama 30 tahun untuk menyembunyikan identitas narasumbernya, hingga pada bulan Mei 2005, pensiunan Wakil Direktur FBI, William Mark Felt mengaku bahwa dirinyalah sang Deep Throat. Pengakuan itu disampaikan dalam sebuah wawancara di majalah Vanity Fair yang bahkan mengejutkan bagi kedua wartawan itu sendiri.

Begitulah wartawan menjaga kerahasiaan narasumbernya. Bila seorang jurnalis punya reputasi berkhianat, maka kredibilitasnya tamat, dan tak ada lagi narasumber yang bersedia membantunya (sampai hari kiamat). Pimpinan di redaksi yang biasanya adalah jurnalis senior, mestinya jauh lebih memahami hal-hal seperti ini, dan tidak terlibat dalam persekongkolan dengan pihak manapun untuk mengkhianati sumber dan mengorbankan wartawannya sendiri.

Menggugat Narasumber
Saya kira banyak yang salah menafsirkan ketika redaksi Tv One bermaksud menuntut Andris Ronaldi. Sejauh yang saya pahami, redaksi Tv One tidak menuntut Andris karena telah menjadi narasumber palsu, melainkan karena telah menuding televisi itu melakukan rekayasa. Ada dua hal yangsecarasubstansi perlu diverifikasi dari pengakuan Andris: Pertama, diamengakudijebak. Andris mengaku, semula ia diundang untuk menjadinarasumberdalam topik seputar Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tapikemudiandibelokkan menjadi isu markus. Kedua, dia mengaku dimintamenghafalskenario tanya-jawab yang sudah disiapkan tim Tv One tentangperanmarkus di Mabes Polri.

Keterangan Andris ini memang bertabur kejanggalan, dan Dewan Pers mestinya dengan mudah memverifikasinya. Sejauh informasi yang beredar di media massa, Andris Ronaldi adalah humas sebuah klub penggemar motor bermesin besar (moge). Dia juga disebut-sebut pernah bekerja sebagai penjual alat-alat kesehatan, karyawan perusahaan pembiayaan, bahkan punya bisnis periklanan. Di atas kertas, sebagai jurnalis, saya belum melihat sedikitpun kompetensi Andris dalam topik ketenagakerjaan, terutama TKI. Karena itu perlu diuji, misalnya dengan menanyakan singkatan BNP2TKI. Tak semua jurnalis atau anggota Dewan Pers hafal singkatan itu. Tapi sebagai narasumber topik TKI, mustahil Andris tak hafal luar kepala.

Kedua, pengakuan bahwa redaksi Tv One menyiapkan skenario pertanyaandanjawaban memang kurang masuk akal. Bukan karena ruang redaksi media dijamin steril dari kebohongan dan rekayasa, melainkan karena konteks topiknya, yakni markus di Mabes Polri. Sebab, wartawan sendiri bukan malaikat yang tak tergoda membikin rekayasa. Justru semakin besar kasusnya, makin besar pula godaan untuk melakukan kebohongan.

November 2006, koran besar Jawa Pos tersangkut skandal wawancarapalsuistri tersangka teroris Dr. Azhari. Wawancara eksklusif viatelepon ituternyata bodong sebab istri alarhum Azhari ternyata takbisaberkomunikasi dengan baik. Ada gangguan pada pita suaranya yangtakmemungkinkannya berbicara secara jelas dan lugas dalam komunikasiverbaltatap muka, konon lagi melalui telepon.

Jadi, bila saya menganggap skenario tanya jawab yang disebut-sebut Andris itu kurang masuk akal, bukan karena saya percaya sepenuhnya integritas para jurnalis Tv One (terutama setelah berita yang fatal tentang fakta kematian Noordin M Top), tapi karena topik ini telalu sensitif secara politik bagi ruang redaksi.

Saya percaya bahwa apa yang telah Anda baca sejauh ini informatif. Bagian berikut ini harus pergi jauh ke arah membereskan segala ketidakpastian yang mungkin tetap.

Siapa yang tak tahu bahwa televisi ini kerap mendapat akses khususuntuktopik-topik liputan yang berkaitan dengan polisi, terutamaterorisme.Akses dibangun dari lobi institusi, ketekunan individu,bahkan dalamkasus tertentu œjurnalisme transaksional (dimulai darihal sepeleseperti menyebut œgugur untuk anggota polisi, dan œtewasuntukteroris).

Dengan dependensi yang seperti ini, saya ragu Tv One berani œcari gara-gara dengan merekayasa talkshow tentang markus yang bergentayangan di Mabes Polri. Dus, saya memang ragu dengan keterangan Andris, sebab yang paling diuntungkan dengan pengingkaran ini sejatinya adalah Mabes Polri sendiri. Bila publik bisa diyakinkan bahwa Andris adalah narasumber bodong, maka selamatlah wajah korps Polri yang baru saja kehilangan dua jenderalnya dalam kasus Gayus Tambunan itu.

Permintaan Maaf Itu
Satu lagi indikasi bahwa Tv One mustahil œcari gara-gara dengan merekayasa talkshow tentang polisi, adalah fakta bahwa redaksi televisi ini langsung meminta maaf kepada polisi atas munculnya masalah ini (9 April 2010). Logika orang ramai lantas dipenuhi pertanyaan: Meminta maaf atas apa? Karena telah menampilkan narasumber palsu? Atau justrukarenatelah memberitakan fakta?

Saya menganggap permintaan maaf ini œtak jelas jenis kelaminnya.BilaTv One meminta maaf karena menampilkan narasumber palsu, makapermintaanmaaf itu lebih tepat ditujukan kepada jutaan pemirsanya,daripada untukpolisi. Publik lah"pemilik sah frekuensi yang dipinjamkelompok usahaBakrie"yang paling dirugikan dengan penyesataninformasi, bukansemata-mata Polri. Filosofi jurnalisme yang mengabdipada kepentinganpublik (juga konsep tentang televisi terestrial)agaknya sudah tertimbunoleh hasrat untuk menyenangkan pihak-pihaktertentu demi menjagahubungan baik. Dengan cara pandang seperti ini,tak heran bila publikdilupakan dan bisa jadi wartawan sendiri pundikorbankan.

Lantas kemungkinan kedua juga tak kalah ganjilnya. Bila talkshow itu memang faktual, lalu untuk apa Tv One meminta maaf pada polisi? Saya duga, permintaan maaf itu untuk menjaga hubungan baik dengan institusi Polri. Itu berarti Tv One bersikukuh bahwa Andris adalah narasumber kredibel alias markus di Mabes Polri, tapi mereka tetap meminta maaf bila berita itu menganggu tidur nyenyak para petinggi mabes. Bila ini benar, maka bagi saya ini adalah praktik œjurnalisme hamba sahaya. Dalam struktur sosial yang feodal, seorang bawahan yang sebenarnya tak merasa bersalah, bisa saja tetap minta maaf kepada atasannya bila ada situasi-situasi yang membuat atasannya tak enak hati. Tugas jurnalisme adalah mengungkap fakta, dan tidak ada urusan apakah seorang jenderal bisa tidur atau tidak setelah hal itu diberitakan.

Bila benar ini cara berpikir jajaran pimpinan Tv One, maka agar adil, sebaiknya redaksi melakukannya setiap hari kepada setiap individu atau institusi yang menjadi obyek pemberitaan mereka. Tv One harus sering-sering mengatakan: œRedaksi yakin bahwa berita korupsi ini benar, tapi kami meminta maaf bila Anda terganggu dengan pemberitaan ini.

Menyoal Kewenangan Polisi
Di sisi lain, dibukanya percakapan pribadi antara Andris Ronaldi dan Indy Rahmawati oleh polisi sesungguhnya bisa menimbulkan implikasi hukum. Kecuali tindakan mereka adalah persekongkolan pidana, maka tak ada hak apapun dari polisi untuk mengumumkannya kepada publik. Saya catat sudah dua kali polisi melakukan tindakan semacam ini. Yang pertama, dialami wartawan majalah Tempo, Metta Dharmasaputra, saat menekuni kasus skandal pajak Asian Agri (2007).

Polisi harus bertanggung jawab atas tersebarnya print out SMS Mettayangnotabene adalah wartawan yang sedang bertugas menjalin kontakdenganmantan karyawan Asian Agri bernama Vincentius Amin Sutanto.Dalih polisibahwa mereka sedang memata-matai Vincen (dan kemunculantelepon Mettatak terhindarkan), terbantahkan oleh fakta bahwa printout yang beredarbukan isi SMS Metta dengan Vincen, melainkan denganpihak lain.

Dalam kasus Tv One, selain tak punya kewenangan menyebarluaskan isiSMSIndy-Andris"karena pembicaraan mereka berdua belum tentu relevanuntukdiketahui publik"dalam kasus ini, institusi polisi sesungguhnyahanyalahpihak yang terkait pemberitaan semata, bukan institusi penegakhukum.Kebetulan saja Andris mengaku sebagai markus di Mabes Polri,sehinggaketika polisi bereaksi, kita menganggapnya sebagai tindakanaparathukum. Padahal, sekali lagi, hal itu hanya kebetulan belaka.Bagaimanabila Andris adalah markus di lembaga lain yang tak punyakewenanganmenyadap, membuntuti, menginterogasi keluarga, ataumenangkap? Tidakkahtindakan itu justru harus dilaporkan ke polisi?

Kita perlu meluruskan logika, sebab dalam kasus ini, polisi jelasgagapmembedakan antara dirinya sebagai lembaga hukum, dan (katakanlah) dirinya sebagai korban pemberitaan. Sebagai korban pemberitaan, polisi harus tunduk pada UU Pers dan UU Penyiaran, dengan menyerahkan kasusiniuntuk diinvestigasi oleh Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Polisi sebagai korban pemberitaan, tak boleh bertindak sendiri menciduki narasumber, mentang-mentang memiliki organ untukmelakukannya.

Polisi bisa melaporkan indikasi bahwa narasumber tersebut palsu keDewanPers, tapi tak bisa mencari-cari Andris karena telah menjadinarasumberdi Tv One. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga hukum, polisiataubarangkali lebih tepat Propam Mabes Polri, bisa memproses Andrisdalamkonteks menindaklanjuti pengakuannya sebagai makelar kasus(sebagaisaksi). Sebab yang harus didahulukan untuk diusut adalah parapejabatpolri yang terindikasi terlibat permainan kasus, dan bukan whistleblower-nya.

Bila hasil penyelidikan ternyata nihil, maka secara hukum, Andrisharusdilepas dan Polri bisa membuka kasus baru gugatan pencemaran namabaikkepada Andris dan Tv One karena pemberitaan yang merugikan korpsmereka.Dan kasus ini bisa masuk dalam wilayah perdata, bukansemata-matapidana.

Bila Andris memang bukan markus, maka tindak pidana apa yang ialanggar?Keterangan palsu? Bukankah keterangannya tidak di bawah sumpah sebagaimana layaknya di pengadilan? Bukankah ini kasus pencemaran nama baik lazimnya, yang mungkin melibatkan media dan bisa diselesaikan di jalur perdata?

Dus, tindakan polisi menyita berbagai berbagai kelengkapan kerja jurnalis dan naskah-naskahnya, adalah proses hukum yang sangat membingungkan bagi saya. Dewan Pers atau KPI harus menolak bukti-bukti itu dari tangan polisi, dan memintanya sendiri dari tangan para pihak yang akan dimediasinya.

Dewan Pers atau KPI sebaiknya melakukan langkah-langkah yangsistematisdan terstruktur untuk mengurai benang (yang dibuat) kusutini. Pertama,Dewan Pers atau KPI harus fokus pada mandatnya, yaknimemverifikasipengaduan masyarakat (dalam hal ini Polri) atas tuduhanrekayasa berita.Dewan Pers atau KPI harus mengaudit metodologijurnalistik yangdigunakan Tv One untuk menemukan narasumber anonimmarkus yangbelakangan ternyata adalah Andris Ronaldi. Dari sanalahbisa dibuktikan,siapa yang membohongi siapa.

Kedua, Dewan Pers atau KPI harus menginvestigasi apakah redaksi TvOneterlibat pembocoran identitas sumber anonimnya kepada pihak lain,danmemastikan bahwa Indy Rahmawati atau Andris Ronaldi, tidak dalamposisiterintimidasi untuk menyeleraskan dengan œskenario korporasiatauinstitusi tertentu.

Ketiga, Dewan Pers atau KPI harus mendesak Polri agar tidak gampangmainpasal pidana dalam kasus ini.

Keempat, Dewan Pers atau KPI, harus merumuskan sanksi yang jelas dan tegas bila ternyata ada malpraktik jurnalistik dalam kasus ini, dan mengumumkannya kepada publik segamblang-gamblangnya, termasuk mengumumkan metodologi yang dipakai dalam menangani kasus ini agar transparan dan akuntabel.

Anggota Dewan Pers dan KPI yang di antaranya adalah para jurnalis senior, seyogyanya tetap obyektif dan berpihak pada publik, dengan tidak terjebak suasana œpsikologi perkawanan dengan elit-elit media yang sedang diperiksanya. (*)

Penulis adalah Dewan Pengawas LBH Pers, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Copyleft: silakan disebarluaskan, dikutip, ataudipublikasikan(dengan atau tanpa izin penulis).

Itu terbaru dari lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 berwenang. Setelah Anda terbiasa dengan ide-ide ini, Anda akan siap untuk pindah ke tingkat berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar